Mengenal Mochammad Sahal dan Masadah, Pasutri Penyelamat Lingkungan Diganjar Penghargaan OASE dan Kalpataru
Mochamad Sahal mendapat penghargaan Kalpaturu sebagai perintis, penyelamat, pengabdi, Pembina Lingkungan Hidup tingkat Provinsi Jateng. Sedangkan istrinya, Masadah menerima penghargaan dari Organisasi Aksi Solidaritas Era Kabinet Indonesia Maju (OASE) bidang lingkungan hidup. Penghargaan ini membuatnya makin getol menanam dan menjaga mangrove.
WISNU AJI, Rembang, Radar Kudus
MALAM pukul 19.00 tengah pekan lalu, Mochamad Sahal mengenakan busana muslim. Atasanya warna putih dan bawahannya bersarung. Lengkap peci hitam. Pria berkacamata ini, baru santai di rumah. Tepatnya di Jalan Raya Rembang-Lasem Km 06, Desa Pasar Banggi, Kecamatan Rembang.
Malam hari suasananya sepi. Tetangga pintu rumah sudah tertutup. Kampung ini memang sepi saat malam hari. Sebab, dekat dengan area tambak. Di situ juga terdapat hutan mangrove. Saat ini, ditetapkan sebagai kawasan ekosistem esensial (KEE).
Saat ditemui, Sahal baru santai di kursi kayu. Di rumah gebyok itulah, sehari-hari dia mengabdikan diri di bidang lingkungan dan agama bersama istrinya, Masadah. Keduanya kebetulan baru pulang mengajar dari madrasah diniyah (madin) dan taman pendidikan Alquran (TPQ).
Dua kali di waktu berbeda Jawa Pos Radar Kudus menyambangi rumahnya. Pertama, pagi hari dengan Sahal. Kedua, saat malam hari dan bisa bertemu juga dengan istrinya.
Keduanya pun menceritakan pengalaman berkecimpung pada pelesatarian lingkungan. Mereka juga menunjukkan piagam penghargaan yang telah difigura dan dipasang di dinding gebyok. Sahal mendapat penghargaan lebih dulu. Tepatnya pada 2015 oleh Gubernur Jateng Ganjar Pranowo.
Dia merupakan pengarah sekaligus ketua dari budidaya mangrove kelompok Sidodadi Maju. Statusnya menggantikan Mbah Suyadi sejak akhir 2011 lalu.
Menyusul istrinya satu tahun lalu, mendapat penghargaan dari Istri Presiden, Iriana Joko Widodo selaku pembina organisasi istri-istri menteri. Penyerahan penghargaan itu, di pendapa Magelang, Jateng. Karena saat itu pandemi, penyerahan diwakilkan kepada Ganjar Pranowo dan istrinya, Atiqoh Ganjar Pranowo.
Masadah juga konsen di bidang lingkungan hidup untuk kelompok perempuan. ”Terbentuknya wisata hutan mangrove sebenarnya dari kelompok gender. Saat itu, sekjen dari Kementerian Lingkungan Hidup datang. Termasuk Pak Ganjar,” kenangnya.
Pasangan ini, berbagi tugas dalam pelestari mangrove. Sahal fokus tambak dan mangrove. Kebetulan dia memang petani tambak. Setelah terbentuk kelompok pelestrai mangrove dari petani tambak itu, menyusul para istri petani ikut berpartisipasi.
Keduanya berkisah, untuk melestarikan mangrove ada sejumlah tantangan. Di antaranya, ada petani tambak yang hendak menebang tanaman mangrove. Akhirnya setelah diberi pengetahuan, tanaman penahan abrasi itu bisa dipertahankan.
Selain tantangan itu, saat pembibitan, tidak semuanya hidup. Seperti penanaman 33 ribu yang dilakukan kelompok perempuan. Sebagian ada yang mati. Akhirnya harus tambal sulam.
Sama yang dirasakan Sahal. Banyak suka dukanya. Suka bisa membantu masyarakat setempat. Dulu ibu atau bapak waktu kerja tidak mesti. Karena statusnya swasta. Dimana ada waktu luang bisa melakukan pembibitan. Biasanya waktu tanaman mangrove berbuah. Setiap Juli sampai Desember.
Dalam proses pembibitan ada proses pembuatan bedengan berukuran 1×10 meter. Sebagai tempat peneduh. Yang mengerjakan bapak-bapak. Sedangkan ibu-ibunya mencari bibit mangrove.
Setelah bedengan jadi, baru menyiapkan media dan dimasukan ke polybag. Dikerjakan baik bapak-bapak maupun ibu-ibu. Dalam satu bedengan biasanya diisi 2.000-2.500 polybag bibit mangrove. Setelah hidup, baru digunakan untuk penanaman.
Di luar pelestarian lingkungan tersebut, pasutri ini membagikan ilmu agama. Sore hari keduanya ngajar di madin dan TPQ. Untuk Masadah juga menjaga di pos hutan mangrove, aktif menjadi kader posyandu, dan PKK. (*/lin)
Sumber : https://radarkudus.jawapos.com/feature/27/02/2023/mengenal-mochammad-sahal-dan-masadah-pasutri-penyelamat-lingkungan-diganjar-penghargaan-oase-dan-kalpataru/
Polusi Udara Percepat Kerusakan Tulang pada Wanita Menopause
Studi dari Sekolah Kesehatan Masyarakat Mailman Universitas Columbia menemukan peningkatan kadar polusi udara berhubungan dengan kerusakan tulang pada wanita pascamenopause. Bagi kamu yang peduli kesehatan tulang, simak ulasannya di info sehat kali ini.
Konsekuensinya terutama terlihat di tulang belakang lumbar, di mana oksida nitrat dua kali lebih merusak daripada penuaan normal. Studi sebelumnya pada polutan individu menunjukkan efek buruk polusi udara pada kepadatan mineral tulang, risiko osteoporosis, dan patah tulang terjadi pada individu yang lebih tua.
Studi baru ini adalah yang pertama mengeksplorasi hubungan antara polusi udara dan kepadatan mineral tulang khususnya pada wanita pascamenopause dan yang pertama mengeksplorasi efek campuran polusi udara pada hasil tulang.
Besarnya efek nitrogen oksida sebagai penyebab polusi udara pada kepadatan tulang atau Bone Mineral Density (BMD) yang mencakup seluruh tubuh, pinggul total, leher femoralis, dan tulang belakang lumbar akan mengalami 1,22 persen pengurangan tahunan, hampir dua kali lipat efek tahunan usia pada situs anatomi mana pun yang dievaluasi. Efek ini diyakini terjadi melalui kematian sel tulang akibat kerusakan oksidatif dan mekanisme lainnya.
“Temuan kami mengonfirmasi bahwa kualitas udara yang buruk dapat menjadi faktor risiko keropos tulang, terlepas dari faktor sosial ekonomi atau demografis. Untuk pertama kalinya, kami memiliki bukti bahwa nitrogen oksida, khususnya, merupakan penyumbang utama kerusakan tulang dan lumbar tulang belakang adalah salah satu situs yang paling rentan terhadap kerusakan ini,” kata penulis pertama studi Diddier Prada, MD, PhD, seperti dilansir Hindustantimes dan dikutip dari Antara pada Rabu (22/2/2023).
Knalpot mobil dan truk merupakan sumber utama nitro oksida, demikian pula emisi dari pembangkit listrik. Osteoporosis lebih berdampak pada wanita dari pada pria, dengan 80 persen dari perkiraan 10 juta orang Amerika yang menderita osteoporosis adalah wanita. Wanita pascamenopause berisiko lebih tinggi, dengan satu dari dua wanita berusia di atas 50 tahun mengalami patah tulang karena osteoporosis.
sumber : https://www.solopos.com/polusi-udara-percepat-kerusakan-tulang-pada-wanita-menopause-1557130.
Gegara Polusi Udara, Masyarakat Indonesia Bisa Kehilangan 1,2 Tahun Usia Harapan Hidup
Direktur Utama Rumah Sakit Persahabatan Prof. Dr. dr. Agus Dwi Susanto, SpP(K) menyampaikan bahwa kemajuan teknologi, industri, dan transportasi jadi faktor peningkat pencemaran serta polusi udara.
Polusi udara merupakan salah satu masalah kesehatan dan lingkungan yang paling besar di dunia. Polusi udara berkontribusi terhadap sekitar 11,65 persen kematian secara global dan merupakan salah satu faktor risiko beban penyakit.
“Maka dari itu, polusi udara tidak hanya mengambil tahun kehidupan seseorang, tetapi juga turut berdampak pada kualitas kehidupan seseorang saat masih hidup,” kata Agus dalam pengukuhan Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) Sabtu, 11 Februari 2023.
Beberapa penyakit yang diakibatkan oleh polusi udara di antaranya infeksi saluran pernapasan akut (ISPA), tuberkulosis (TB), asma, penyakit paru obstruktif kronik (PPOK), kanker paru dan fibrosis paru.
“Akibat pajanan polusi udara, rata-rata individu di Indonesia mengalami kehilangan 1,2 tahun usia harapan hidup dikarenakan kualitas udara di Indonesia gagal memenuhi kriteria konsentrasi PM2,5 yang ditetapkan oleh WHO.”
“Penduduk di kota besar seperti Jakarta dapat kehilangan sekitar 2,3 tahun usia harapan hidup apabila terpajan dengan level polusi udara yang sama secara terus menerus,” tambahnya.
Sebagai sistem yang berinteraksi langsung dengan udara dari luar ruangan, sistem respirasi sangat rentan terhadap polusi yang terkandung dalam udara. Polutan dapat mengiritasi saluran napas, memicu inflamasi dan stres oksidatif di saluran pernapasan. Dampak polusi udara terhadap kesehatan respirasi dapat berupa dampak akut maupun dampak kronik.
Sumber : https://www.liputan6.com/health/read/5213315/gegara-polusi-udara-masyarakat-indonesia-bisa-kehilangan-12-tahun-usia-harapan-hidup